Kamis, 02 Mei 2013

Cerpen


Tuna Susila yang Malang
Aku, ya, aku. Jujur saja, tidak pernah berusaha menutup-nutupi. Aku, ya Aku, memang seorang pelacur. Pelacur. Ya, Pelacur.
Mengapa wajahmu berubah tiba-tiba? Santai sajalah, seperti aku santai menyatakannya.
Ya, tidak usah ragu, bila pikiranmu berkata; Berarti aku berhadapan dengan pelacur, seorang perempuan sundal, sosok yang menjadi salah satu kelompok penyakit masyarakat, atau bila lebih halus engkau mengatakan berhadapan dengan seorang Wanita Tuna Susila, atau bila engkau suka dengan istilah bisnis, tengah berhadapan dengan seorang Pekerja Seksual Komersial.
Banyak nama, banyak julukan, banyak vonis, aku tahu itu. Tidak akan diriku berubah marah, pun saat tidak hanya terlintas dalam kepala, tapi turun pula melewati mulut yang terbuika, menjadi kata-kata yang bisa jelas kudengar.
Tidak salah. Itu hal yang wajar. Justru kuanggap sebagai ketidakkewajaran bila engkau menganggap biasa-biasa saja. Apapun nama yang akan engkau sebutkan, percayalah, aku tidak pernah ambil pusing, lantaran, apa beda julukan dengan perubahan nasib? Jadi, cukup, tak mengapa, bila aku tetap menyatakan diri sebagai pelacur. Aku Memang Pelacur.
Jangan engkau cari dalam iklan-iklan tersembunyi, atau promosi di internet  walau aku punya akun di facebook. Juga jangan engkau cari di tempat-tempat yang menggunakan topeng usaha. Tidak akan engkau temukan diriku.
Carilah aku di sini, tempat yang memang dikenal sebagai tempat pelacuran, di gang XII, rumah paling pojok menghadap utara. Oh, ya di depannya ada warung sederhana, dengan teh yang menurutku paling nikmat. Singgahlah, ke warung itu dan ke rumah tempat aku berada.
Aku selalu terbuka kepada siapa saja. Tidak pernah peduli dengan jenis pekerjaanmu, status sosial, status perkawinan, tua-muda, orientasi seksual, semua kuanggap sama: sebagai manusia.
Aku berusaha menjadi kawan yang baik untuk mendengarkan segala celotehmu, tentang keluh-kesah dan mimpi-mimpi. Juga untuk gosip-gosip politik. Tenang saja, aku hanya menjadi pendengar yang baik apabila engkau menginginkannya. Aku juga bisa menjadi lawan bicara untuk berdiskusi bila engkau mau.
Soal politik, aku tidak buta pun tidak alergi. Sekarang semua serba terbuka. Setiap hari gosip politik sudah menjadi infotainment. Bersaing dengan gosip-gosip para artis. Bahkan bisa bersenyawa menjadi satu kesatuan. Para artis yang berpolitik, para politisi yang menjadi artis/aktor, atau perselingkuhan antara sosok dari dua profesi.
Soal politik, aku ”terpaksa” belajar, terutama saat-saat musim demo di jaman Soeharto dulu. Para anak muda, sering menggunakan ruang tamu untuk kumpul. Mereka ngobrol sesuatu yang sama sekali tidak aku pahami. Banyak kata-kata yang baru aku dengar pada saat itu. Rejim otoriter, kapitalis, antek nekolim, pembangkangan sipil, kondisi obyektif, kondisi subyektif, kemiskinan struktural, pembebasan, penyadaran, organisasi rakyat, kesadaran kolektif, makar, dan banyak lagi.Artinya, tidak tahulah. Toh, aku cuma pelacur.
Aku memang pelacur. Kebetulan dari tujuh orang yang tinggal di rumah ini, akulah yang paling sering dan paling betah menemani gerombolan ini yang biasanya baru usai saat terdengar adzan Subuh. Teman-teman yang lain seringkali malah cemberut, karena hampir semua kursi digunakan, dan mereka harus duduk di pinggir jalan mencari tamu. Karena seringnya melakukan hubungan seksual, aku terinfeksi virus HIV, tapi yang lebih parah lagi bukan hanya aku saja melainkan ke enam temanku juga terinfeksi HIV ketika diperiksa oleh dokter. Aku sangat sedih dan drop ketika mengetahui berita itu.
Lalu aku berusaha untuk melupakan hal itu walaupun sangat sulit. Aku dan teman-temanku merasa sedih tapi sudah terjadi. Dan aku sempat berfikir sambil duduk di teras. Tanpa kusadari ternyata ada seseorang yang membuyarkan lamunanku.  hemmmm ”Menurutmu, untuk apa kita bernegara?” tanya seorang anak muda tiba-tiba kepadaku.
”Hm, gak tahu ya,”
”Nah, itulah, untuk rakyat banyak, tidak mau ambil pusing tentang nasib negara ini, walau mereka banyak dipusingkan oleh kebijakan-kebijakan negara yang tidak pro-rakyat. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan, kita harus bergerak. Revolusi!” berapi-api anak muda itu beralih pembicaraan kepada kawan-kawannya.
Aku cuma bengong saja. Menuang bir ke gelas-gelas yang kosong.
”Pendidikan politik bagi massa rakyat harus terus dilakukan. Kita harus menceburkan diri hidup bersama rakyat, membangun kesadaran kolektif, membangun organisasi massa yang sadar politik. Rakyat harus bisa memiliki kekuatan yang terorganisir agar bisa menyuarakan dan mendesakkan kepentingannya,”
Tidak paham. Tapi senang. Itulah yang membuat diriku bertahan berkumpul menemani dan melayani mereka. Semangat anak-anak muda yang membuatku kagum. Bila saja semua anak muda di negeri ini seperti itu? Tapi ya, bukan nongkrong di sini, menghabiskan malam ditemani bir dan pelacur seperti diriku. Semangat untuk bekerja yang lebih baik.
“Coba, kita berada di sini, di wilayah yang tidak pernah diakui dan selalu dihujat apalagi terinfeksi HIV sekarang ini yang makin dihujat oleh masyarakat, tapi setiap hari ratusan atau bahkan ribuan orang tidak mau datang lagi menemuiku. Inilah wajah kemunafikan kita. Adanya perempuan-perempuan di sini, menunjukkan negara telah gagal memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Coba tanya Mbak itu, apa Mbak senang menjalani kehidupan seperti ini? Pasti Mbak terpaksa,” anak muda yang lain.
“Jadi teringat Rendra. Bersatulah pelacur-pelacur Kota Jakarta,” seseorang menyela. Lalu ia berdiri dan bergaya.
Dan kau Dasima
Khabarkan pada rakyat
Bagaimana para pemimpin revolusi
Secara bergiliran memelukmu
Bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi
Sambil celananya basah
Dan tubuhnya lemas
Terkapai disampingmu
Ototnya keburu tak berdaya
Aku tersenyum-senyum sendiri. Walau gak paham apa yang dikatakan, tapi gayanya sangat lucu sekali. Semua kemudian tertawa terbahak.
Sampai satu malam. Saat telah melarut menjelang dini hari. Serombongan polisi, tentara, berseragam dan berpakaian preman, telah mengepung dan menangkapi mereka. Pukulan dan tendangan membabi buta. Darah tumpah. Jeritan para perempuan membelah malam. Setelahnya kembali senyap.
Keesokan hari berita di koran: Aktivis Pengacau Keamanan Ditangkap di Lokalisasi Tengah Pesta Miras dan pelacuran.
Hari-hari menjadi sepi. Suara-suara penuh semangat menjadi kenangan yang justru malah jadi kurindu. Mereka, anak-anak muda, hanya berdiskusi, ditemani bir, tanpa pernah merayu para perempuan di sini. Ah, kemana mereka.
Aku Memang Pelacur. Masih tinggal di tempat yang sama. Bekas lokalisasi yang sudah ditutup, tapi sekarang masih saja beroperasi. Sudah lebih dari 15 tahun aku di sini. Tidak akan dan bisa kemana-mana. Tidak ada sanak-saudara. Bapak-ibu pun tak punya.
Aku hidup sendiri. Lari dari panti asuhan sejak kecil, berkelana, dari jalan ke jalan. Hingga tiba di tempat ini.
Aku memang pelacur. Selamanya mungkin hanya seorang pelacur. Walau tidak ada lagi yang menoleh ke arahku, apalagi menggoda, apalagi mengajak ke kamar karena HIV tersebut.
Biarlah aku berada di ruang tamu. Melayani para tamu yang memesan minuman dan makanan, sembari menyaksikan acara televisi. Dari gosip selebritis dan gosip para politisi. Beberapa wajah yang menghiasi televisi, terasa akrab di hati. Sebagian dari anak-anak muda yang pernah berkumpul di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar