Tuna Susila yang Malang
Aku, ya, aku. Jujur saja, tidak pernah berusaha
menutup-nutupi. Aku, ya Aku, memang seorang pelacur. Pelacur. Ya, Pelacur.
Mengapa wajahmu berubah tiba-tiba? Santai
sajalah, seperti aku santai menyatakannya.
Ya, tidak usah ragu, bila pikiranmu berkata;
Berarti aku berhadapan dengan pelacur, seorang perempuan sundal, sosok yang
menjadi salah satu kelompok penyakit masyarakat, atau bila lebih halus engkau
mengatakan berhadapan dengan seorang Wanita Tuna Susila, atau bila engkau suka
dengan istilah bisnis, tengah berhadapan dengan seorang Pekerja Seksual
Komersial.
Banyak nama, banyak julukan, banyak vonis, aku
tahu itu. Tidak akan diriku berubah marah, pun saat tidak hanya terlintas dalam
kepala, tapi turun pula melewati mulut yang terbuika, menjadi kata-kata yang
bisa jelas kudengar.
Tidak salah. Itu hal yang wajar. Justru kuanggap
sebagai ketidakkewajaran bila engkau menganggap biasa-biasa saja. Apapun nama
yang akan engkau sebutkan, percayalah, aku tidak pernah ambil pusing, lantaran,
apa beda julukan dengan perubahan nasib? Jadi, cukup, tak mengapa, bila aku
tetap menyatakan diri sebagai pelacur. Aku Memang Pelacur.
Jangan engkau cari dalam iklan-iklan tersembunyi,
atau promosi di internet walau aku punya akun di facebook. Juga jangan
engkau cari di tempat-tempat yang menggunakan topeng usaha. Tidak akan engkau
temukan diriku.
Carilah aku di sini, tempat yang memang dikenal
sebagai tempat pelacuran, di gang XII, rumah paling pojok menghadap utara. Oh,
ya di depannya ada warung sederhana, dengan teh yang menurutku paling nikmat.
Singgahlah, ke warung itu dan ke rumah tempat aku berada.
Aku selalu terbuka kepada siapa saja. Tidak
pernah peduli dengan jenis pekerjaanmu, status sosial, status perkawinan, tua-muda,
orientasi seksual, semua kuanggap sama: sebagai manusia.
Aku berusaha menjadi kawan yang baik untuk
mendengarkan segala celotehmu, tentang keluh-kesah dan mimpi-mimpi. Juga untuk
gosip-gosip politik. Tenang saja, aku hanya menjadi pendengar yang baik apabila
engkau menginginkannya. Aku juga bisa menjadi lawan bicara untuk berdiskusi
bila engkau mau.
Soal politik, aku tidak buta pun tidak alergi.
Sekarang semua serba terbuka. Setiap hari gosip politik sudah menjadi
infotainment. Bersaing dengan gosip-gosip para artis. Bahkan bisa bersenyawa
menjadi satu kesatuan. Para artis yang berpolitik, para politisi yang menjadi
artis/aktor, atau perselingkuhan antara sosok dari dua profesi.
Soal politik, aku ”terpaksa” belajar, terutama
saat-saat musim demo di jaman Soeharto dulu. Para anak muda, sering menggunakan
ruang tamu untuk kumpul. Mereka ngobrol sesuatu yang sama sekali tidak aku
pahami. Banyak kata-kata yang baru aku dengar pada saat itu. Rejim
otoriter, kapitalis, antek nekolim, pembangkangan sipil, kondisi obyektif,
kondisi subyektif, kemiskinan struktural, pembebasan, penyadaran, organisasi
rakyat, kesadaran kolektif, makar, dan banyak lagi.Artinya, tidak tahulah. Toh,
aku cuma pelacur.
Aku memang pelacur. Kebetulan dari tujuh orang
yang tinggal di rumah ini, akulah yang paling sering dan paling betah menemani
gerombolan ini yang biasanya baru usai saat terdengar adzan Subuh. Teman-teman
yang lain seringkali malah cemberut, karena hampir semua kursi digunakan, dan
mereka harus duduk di pinggir jalan mencari tamu. Karena seringnya melakukan
hubungan seksual, aku terinfeksi virus HIV, tapi yang lebih parah lagi bukan
hanya aku saja melainkan ke enam temanku juga terinfeksi HIV ketika diperiksa
oleh dokter. Aku sangat sedih dan drop ketika mengetahui berita itu.
Lalu aku berusaha untuk melupakan hal itu
walaupun sangat sulit. Aku dan teman-temanku merasa sedih tapi sudah terjadi.
Dan aku sempat berfikir sambil duduk di teras. Tanpa kusadari ternyata ada
seseorang yang membuyarkan lamunanku. hemmmm
”Menurutmu, untuk apa kita bernegara?” tanya seorang anak muda tiba-tiba
kepadaku.
”Hm, gak tahu ya,”
”Nah, itulah, untuk rakyat banyak, tidak mau
ambil pusing tentang nasib negara ini, walau mereka banyak dipusingkan oleh
kebijakan-kebijakan negara yang tidak pro-rakyat. Kondisi ini tidak bisa
dibiarkan, kita harus bergerak. Revolusi!” berapi-api anak muda itu beralih
pembicaraan kepada kawan-kawannya.
Aku cuma bengong saja. Menuang bir ke gelas-gelas
yang kosong.
”Pendidikan politik bagi massa rakyat harus terus
dilakukan. Kita harus menceburkan diri hidup bersama rakyat, membangun
kesadaran kolektif, membangun organisasi massa yang sadar politik. Rakyat harus
bisa memiliki kekuatan yang terorganisir agar bisa menyuarakan dan mendesakkan
kepentingannya,”
Tidak paham. Tapi senang. Itulah yang membuat
diriku bertahan berkumpul menemani dan melayani mereka. Semangat anak-anak muda
yang membuatku kagum. Bila saja semua anak muda di negeri ini seperti itu?
Tapi ya, bukan nongkrong di sini, menghabiskan malam ditemani bir dan pelacur
seperti diriku. Semangat untuk bekerja yang lebih baik.
“Coba, kita berada di sini, di wilayah yang tidak
pernah diakui dan selalu dihujat apalagi terinfeksi HIV sekarang ini yang makin
dihujat oleh masyarakat, tapi setiap hari ratusan atau bahkan ribuan orang tidak
mau datang lagi menemuiku. Inilah wajah kemunafikan kita. Adanya
perempuan-perempuan di sini, menunjukkan negara telah gagal memberikan
kesejahteraan bagi rakyatnya. Coba tanya Mbak itu, apa Mbak senang menjalani
kehidupan seperti ini? Pasti Mbak terpaksa,” anak muda yang lain.
“Jadi teringat Rendra. Bersatulah
pelacur-pelacur Kota Jakarta,” seseorang menyela. Lalu ia berdiri dan
bergaya.
Dan kau Dasima
Khabarkan pada rakyat
Bagaimana para pemimpin revolusi
Secara bergiliran memelukmu
Bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi
Sambil celananya basah
Dan tubuhnya lemas
Terkapai disampingmu
Ototnya keburu tak berdaya
Khabarkan pada rakyat
Bagaimana para pemimpin revolusi
Secara bergiliran memelukmu
Bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi
Sambil celananya basah
Dan tubuhnya lemas
Terkapai disampingmu
Ototnya keburu tak berdaya
Aku tersenyum-senyum sendiri. Walau gak paham apa
yang dikatakan, tapi gayanya sangat lucu sekali. Semua kemudian tertawa
terbahak.
Sampai satu malam. Saat telah melarut menjelang
dini hari. Serombongan polisi, tentara, berseragam dan berpakaian preman, telah
mengepung dan menangkapi mereka. Pukulan dan tendangan membabi buta. Darah
tumpah. Jeritan para perempuan membelah malam. Setelahnya kembali senyap.
Keesokan hari berita di koran: Aktivis
Pengacau Keamanan Ditangkap di Lokalisasi Tengah Pesta Miras dan pelacuran.
Hari-hari menjadi sepi. Suara-suara penuh
semangat menjadi kenangan yang justru malah jadi kurindu. Mereka, anak-anak
muda, hanya berdiskusi, ditemani bir, tanpa pernah merayu para perempuan di
sini. Ah, kemana mereka.
Aku Memang Pelacur. Masih tinggal di tempat yang
sama. Bekas lokalisasi yang sudah ditutup, tapi sekarang masih saja beroperasi.
Sudah lebih dari 15 tahun aku di sini. Tidak akan dan bisa kemana-mana. Tidak
ada sanak-saudara. Bapak-ibu pun tak punya.
Aku hidup sendiri. Lari dari panti asuhan sejak
kecil, berkelana, dari jalan ke jalan. Hingga tiba di tempat ini.
Aku memang pelacur. Selamanya mungkin hanya
seorang pelacur. Walau tidak ada lagi yang menoleh ke arahku, apalagi menggoda,
apalagi mengajak ke kamar karena HIV tersebut.
Biarlah aku berada di ruang tamu. Melayani
para tamu yang memesan minuman dan makanan, sembari menyaksikan acara televisi.
Dari gosip selebritis dan gosip para politisi. Beberapa wajah yang menghiasi
televisi, terasa akrab di hati. Sebagian dari anak-anak muda yang pernah
berkumpul di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar